Halal Membentuk Kehidupan Masyarakat Aman dan Damai (Bagian ke-3)
Zero Tolerance
Termasuk dalam hal ini adalah proses pengolahan bahan pangan, tidak boleh bercampur dengan yang haram, seperti babi. Para ulama di MUI telah menetapkan prinsip yang berkenaan dengan babi dan segala bentuk turunannya ini: tidak ada toleransi sedikit pun, “Zero Tolerance”. Maka semua produk turunannya juga menjadi haram.
Demikian pula dalam proses penyembelihan hewan halal, tidak boleh bercampur dengan babi. Maka dalam ketentuan MUI, rumah potong hewan (RPH) harus sepenuhnya untuk hewan yang halal (fully dedicated for halal slaughtering). Tidak boleh di satu RPH dimanfaatkan untuk menyembelih sapi, lalu menyembelih babi.
Ketiga, halal dalam penyajiannya. Misalnya di restoran, tidak boleh menyajikan makanan yang halal bersamaan atau berdekatan dengan makanan yang haram. Dalam hadits Nabi saw., orang beriman dilarang berada dalam satu majlis yang didalamnya dihidangkan khamar. “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka jangan sekali-kali duduk pada suatu hidangan yang padanya diedarkan khamr.” [HR. Ahmad].
Dari Jabir, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia duduk pada jamuan makan yang ada minum khamr padanya.” [HR. Ad-Darimiy].
Menurut ketentuan hukum positif di Indonesia juga, ada peraturan pemerintah bahwa minuman keras tidak boleh dijual secara bebas di sembarang tempat.
Merujuk pada nash ini, dengan kaidah Qiyash atau analogi, maka di supermarket, umpamanya, tidak boleh ada display daging sapi, misalnya, yang bersebelahan atau berdekatan dengan daging babi, pada satu storage display. Meskipun wadah untuk kedua jenis daging itu berbeda.
Dan keempat, halal cara memperolehnya. Yakni dengan usaha atau kerja yang diperbolehkan dalam Islam. Bukan yang dilarang agama. Berkenaan dengan cara memperoleh rezeki ini, agaknya banyak orang yang lalai. Misalnya, uang-rezeki yang diperoleh dari korupsi atau mencuri. Hal itu dilarang dan diharamkan dalam Islam. Maka makanan yang dibeli-dikonsumsi dengan uang dari korupsi itu hukumnya menjadi haram pula, meskipun berupa nasi, atau buah-buahan dll, yang jelas halal secara dzatiyah.
Perhatikanlah panduan-larangan yang harus dihindarkan dalam cara mencari rezeki ini. Diantaranya dilarang mengambil harta atau memakan rezeki dengan cara yang zhalim atau bathil: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…” (QS. An-Nisaa’: 29).
Cara yang bathil dalam mencari rezeki, seperti mengambil tanpa hak atau mencuri, dengan segala bentuk-modusnya, termasuk korupsi, suap-menyuap, menipu, berbuat curang, melakukan tindakan yang merugikan orang lain, mengurangi timbangan, dll.
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. 5: 38).
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. (Yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi. Dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidakkah orang-orang itu yakin bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan. Pada suatu hari yang besar. (Yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Rabb semesta alam.” (QS. al-Muthaffifîn/83:1-6).
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.” (QS. 6: 152).
“Dan Syu’aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.” (QS. 11: 85).
Dari Ibnu Umar, ia berkata: “Rasulullah Saw. melaknat yang memberi suap dan yang menerima suap.” [HR At-Tirmidzi, 1/250; Ibnu Majah, 2313 dan Hakim, 4/102-103; dan Ahmad 2/164,190].
Dalam riwayat Tsauban, terdapat tambahan hadits: “Arroisy” (…dan perantara transaksi suap)”. [HR Ahmad, 5/279).
Hadits ini menunjukkan, bahwa suap termasuk dosa besar, karena ancamannya adalah Laknat dari Allah.
Dalam Hadits yang diriwayatkan dari Al-Qasim bin Mukhaimirah ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mendapatkan harta dengan cara yang berdosa, lalu dengannya ia menyambung silaturrahmi atau bersedekah dengannya atau menginfakkannya di jalan Allah, ia lakukan itu semuanya, maka ia akan dilemparkan dengan sebab itu ke neraka jahannam.” (HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Marasiil, lihat Shahih At-Targhib, 2/148 No. 1721).
Oleh: Prof.Dr. H. Ahmad Sutarmadi
Sumber: Minanews.net
Tags :