Madrasah Swasta Pascaefisiensi Anggaran

(PKPH, Tangerang)--Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah punya tanggung-jawab untuk menyediakan layanan pendidikan yang merata dan berkualitas bagi masyarakat. Karena keterbatasan pemerintah baik dalam aspek pembiayaan maupun sumber daya, maka pada celah inilah swasta mengambil peran.
Sekolah negeri milik pemerintah jumlahnya masih terbatas dan belum merata ada di tiap daerah. Dengan begitu, daya tampung masih sangat terbatas. Sementara jumlah peserta didik begitu banyak. Kondisi ini menyebabkan tidak liniernya antara ketersediaan ruang kelas sekolah negeri milik pemerintah dengan keberadaan calon peserta didik.
Mereka yang tidak tertampung di sekolah negeri ini “diselamatkan” oleh swasta untuk memiliki kesempatan bisa belajar yang diwajibkan oleh pemerintah. Di beberapa daerah, sekolah dan madrasah swasta jumlahnya lebih banyak dibanding sekolah dan madrasah negeri. Dalam hal ini, keberadaan swasta dalam pendidikan menjadi penyelamat “muka” pemerintah.
Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran memiliki program Makan Bergizi Gratis atau MBG yang diperuntukan bagi anak-anak Indonesia. Program ini akan menyasar anak-anak sekolah. Dengan MBG diharapkan anak-anak Indonesia tumbuh kembangnya baik, cerdas, sehingga program Indonesia Emas 2045 bisa terwujud.
Salah satu faktor kemenangan pasangan Prabowo-Gibran dan terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI 2024-2029 pada Pemilu 2024 adalah karena jargon dan program MBG ini. Bagaimana tidak tergiur untuk mendukungnya ketika para ibu membayangkan bahwa untuk makan siang bagi anak-anak mereka sudah ditanggung oleh pemerintah. Selain gratis, juga bergizi.
Saat tahapan kampanye Pemilu 2024, ketika Prabowo-Gibran menjanjikan program MBG ini, Penulis sempat mempertanyakan, dari mana uangnya? Tapi tidak sambil gebrak meja seperti aksi seorang dai terkenal itu, hehe. Dari mana dana untuk membiayai program yang pastinya akan menyedot anggaran yang tidak sedikit ini? Dari APBN kah, utang luar negeri kah, bantuan lembaga donor kah, menaikan pajak kah, atau jual pulau kah?
Mengapa hal itu perlu dipertanyakan? Karena selama pemerintahan sebelumnya di era Presiden Jokowi saja, juga Presiden sebelumnya yang tanpa ada program MBG, pemasukan dana bagi APBN sudah melibatkan utang, baik dari lembaga keuangan dunia, maupun dari negara sahabat. Itulah mengapa utang Indonesia dari rezim ke rezim selalu bertambah dan semakin membengkak.
MBG itu bukan program main-main. Butuh biaya besar. Bayangkan, dengan asumsi per porsi seharga Rp. 10.000, maka selama 1 bulan atau sekitar 24 hari masuk sekolah, dibutuhkan sekitar Rp. 240.000. Itu artinya butuh dana Rp. 2.880.000 per siswa per tahun. Jumlah yang sangat besar, kan? Lebih besar dari dana BOS!
Bagaimana dengan ketersediaan dana yang tidak memadai itu bisa mengatasi program MBG? Apalagi ketika Prabowo menyusun Kabinet Merah Putih dengan komposisi jumbo. Pastinya akan berdampak kepada pembiayaan operasional Kementerian dan Lembaga baru tersebut. Pertanyaan yang dipertanyakan sembari diperagakan dengan gesture “ngajebi” oleh Prabowo di depan peserta HUT Partai Gerindra pekan kemarin.
Akhirnya pertanyaan itu kini terjawab. Prabowo menginstruksikan untuk melakukan efisiensi anggaran dengan memerintahkan tiap Kementerian dan Lembaga untuk melakukan pemangkasan pembiayaan. Baik pemangkasan program, kegiatan, pembelanjaan, tunjangan, honorarium, dan bantuan dana. Dipangkas antara lain karena pendanaan akan difokuskan pada program MBG tersebut.
Tiap Kementerian dan Lembaga menindaklanjutinya dengan memilah antara program prioritas yang mesti diselamatkan, dengan program yang dinilai kurang urgent yang tidak menyangkut hajat hidup orang banyak. Perjalanan dinas dikurangi, pembelanjaan Alat Tulis Kantor atau ATK dipangkas, seminar dan kegiatan yang semacam dicoret.
Salah satu Kementerian yang melakukan efisiensi dan pemangkasan anggaran adalah Kementerian Agama RI. Kementerian ini membawahi pendidikan di madrasah dan pondok pesantren. Sejak pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, madrasah -juga sekolah- menerima bantuan dari pemerintah lewat Kemenag RI dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah atau BOS.
Selama ini, besaran bantuan untuk madrasah adalah, untuk tingkat Madrasah Ibtidaiyah atau MI, Rp. 900.000 per siswa per tahun. Untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah atau MTs, Rp. 1.100.000 per siswa per tahun. Dan untuk tingkat Madrasah Aliyah atau MA, Rp. 1.500.000 per siswa per tahun.
Dengan bantuan sejumlah itu, bukan hanya madrasah negeri yang notabene milik pemerintah yang bisa menggratiskan biaya pendidikan bagi siswa. Bahkan di beberapa madrasah swasta tertentu -kecuali yang menerapkan boarding system karena ada living cost- ada yang mampu membebaskan kewajiban wali siswa untuk membayar iuran SPP. Terlebih di tingkat MI dan MTs. Seperti halnya di lembaga pendidikan yang Penulis kelola.
Penulis punya yayasan. Yayasan yang Penulis urus mengelola 3 satuan pendidikan. Terdiri dari Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Sekolah Menengah Atas. Masing-masing satuan pendidikan itu bila direratakan memiliki 150 siswa. Artinya, peserta didik di sekolah dan madrasah yang kami kelola ada sekitar 450 orang.
Untuk biaya operasional bulanan berasal dari 2 sumber. Yaitu Bantuan Operasional Sekolah atau Madrasah, serta kontribusi dari masyarakat dengan menerapkan Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan atau SPP. Iuran SPP ini hanya diterapkan di tingkat SLTA. Sementara di MI dan MTs digratiskan.
Mengapa masih ada penerapan SPP bagi siswa tingkat SLTA? Karena selain besaran dana BOS yang diterima tidak mencukupi untuk biaya operasional bulanan, juga bagi sekolah dan madrasah swasta memungkinkan bagi masyarakat atau wali siswa untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan anak-anaknya.
Penulis ambil contoh tingkat MTs. Dengan jumlah peserta didik 150 orang, yang selama ini per orang mendapatkan kuota sekitar sebesar Rp. 91.000 per bulan, maka dalam 12 bulan atau 1 tahun madrasah mendapatkan bantuan BOS sebesar Rp. 165.000.000. Jumlah itu dibagi habis 12 bulan sehingga dalam 1 bulan biaya operasional sebesar Rp. 13.750.000.
Sementara biaya operasional bulanan itu, yang meliputi perawatan sarana, pembelian ATK, honorarium guru, kegiatan siswa dan guru, dan yang lainnya, selama ini tidak kurang dari Rp. 20.000.000. Jadi, bila pembiayaan rutin bulanan dengan mengandalkan dana BOS saja, masih kurang.
Tetiba, karena program MBG -mungkin juga karena faktor program lainnya- dilakukan efisiensi. Kemenag RI pun terkena dampaknya. Pada surat Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI Nomor B-135/DJ.I/KU.00.2/02/2025 tentang Tindak Lanjut Efisiensi Rekonstruksi Belanja Ditjen Pendidikan Islam Tahun Anggaran 2025, tersua pemangkasan anggaran yang sangat besar. Besar sekali!
Tidak tanggung-tanggung! Efisiensi di Ditjen Pendidikan Islam Kemenag RI mencapai lebih dari Rp. 10.000.000.000.000. Sulit ya membacanya. Juta atau milyar? Bukan! Tapi triliun. Ya, sepuluh triliun rupiah. Nolnya ada 12! Dan salah satu yang terdampak adalah kuota Bantuan Operasional Sekolah atau BOS!
Surat bertanggal 14 Februari 2025 -yang biasa dirayakan sebagai tanggal dan hari kasih sayang dan kebetulan juga merupakan tanggal dan hari paling membahagiakan bagi calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih tahun lalu- yang ditandatangani oleh Suyitno, Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI tersebut, menjadi mimpi buruk bagi dunia pendidikan. Khususnya pendidikan swasta. Lebih khusus, madrasah. Sudah madrasah, swasta lagi.
Dalam surat tersebut, pada ponit 2 huruf b disebutkan bahwa penyesuaian terhadap kuota efisiensi adalah 2129.QEI BOS MI 500 ribu/siswa/tahun, MTs 600 ribu/siswa/tahun, MA 700 ribu/siswa/tahun. Pemangkasan dana BOS untuk madrasah di tiap jenjang nyaris mencapai 50% atau setengahnya dari jumlah yang selama ini diterima.
Dengan bantuan sebesar selama ini saja, masih banyak madrasah swasta yang nafasnya kembang kempis. Jangankan untuk mengembangkan jaringan pendidikan. Sekedar untuk menyambung “ambekan” para tenaga pendidiknya untuk bisa tarik dan keluar nafas sejak tanggal muda hingga akhir bulan, masih engap-engapan. Uwatu komo lamun dipotong. Modyar, Ka Ustadz!
Kalau skema ini benar terjadi, Penulis memprediksi akan ada banyak madrasah khususnya swasta yang menggelepar, kolaps, sekarat, dan tutup di tengah persoalan klasik lainnya yang selama ini dihadapi. Seperti Pendaftaran Peserta Didik Baru atau PPDB, dan jargon gratis yang kadung sudah menjadi pemahaman sebagain besar masyarakat selama ini.
Kalau gegara program MBG mesti dihadapkan pada situasi seperti ini, Penulis menyarankan agar program MBG “enggak jadi juga enggak apa-apa”. Rakyat masih mampu “ngempanin” anak-anaknya kalau sekedar untuk makan siang mah. Toh selama ini juga kami mampu “maraban” anak-anak kami. Point pentingnya, dana BOS jangan dipangkas! Selamatkan pendidikan anak-anak kita!
*
Tangerang, Senin, 17 Februari 2025
Ocit Abdurrosyid Siddiq
Penulis adalah Praktisi Pendidikan; Bidang Kaderisasi Pengurus Besar Mathlaul Anwar Periode 2021-2026
Tags :