×
Pusat Kajian Produk Halal UNMA Banten memiliki aplikasi android pecarian produk yang sudah bersertifikat halal. silakkan di download Apk Android PKPH

Makanan Halal dan Thayyib dalam Perspektif Ajaran Islam

Mengonsumsi makanan halalan thayyiban merupakan tanda kesyukuran seorang hamba kepada Allah Sang Pencipta, yang telah memberikan manusia berbagai sumber makanan dan minuman yang tak terhingga.

Kewajiban mengonsumsi makanan halal dan thayyib bahkan telah Allah wajibkan sejak jaman dahulu kala kepada para Rasul-Nya. Kewajiban itu malah sebelum perintah beramal shalih. Sehingga dengan makanan halalan thayyiban itu, akan mempermudah seseorang beramal shalih. Allah memerintahkan di dalam ayat-Nya,

وَكُلُواْ مِمَّا رَزَقَكُمُ ٱللَّهُ حَلَـٰلاً۬ طَيِّبً۬ا‌ۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِىٓ أَنتُم بِهِۦ مُؤۡمِنُونَ

Artinya: “Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS Al-Maidah [5]: 88).

Penjelasan ayat ini disebutkan di dalam Tafsir Kementrian Agama RI, makanlah oleh kamu wahai orang-orang yang beriman, dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu, berupa bahan makanan yang berasal dari darat maupun dari laut. Baik protein nabati maupun protein hewani sebagai rezeki yang halal dan baik untuk menopang aktivitas kamu dalam hidup dan kehidupan ini.  Kemudian bertakwalah kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, yang kepada-Nya kamu beriman dengan ikhlas dan istiqamah.

Pengertian Halal dan Thayyib

Halal artinya dibenarkan. Lawannya haram artinya dilarang, atau tidak dibenarkan menurut syariat Islam. Sedangkan thayyib artinya baik, bermutu dan tidak membahayakan kesehatan.

Kita diharuskan makan makanan yang halal dan thayyib, artinya kita harus makan makanan yang sesuai dengan tuntunan agama dan bermutu, tidak merusak kesehatan.

Dalam ajaran Islam, semua jenis makanan dan minuman pada dasarnya adalah halal, kecuali hanya beberapa saja yang diharamkan. Yang haram itupun menjadi halal bila dalam keadaan darurat. Sebaliknya, yang halal pun bisa menjadi haram bila dikonsumsi melampaui batas.

Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menjelaskan, pengertian halal dan haram sesungguhnya bukan hanya menyangkut kepada masalah makanan dan minuman saja, tetapi juga menyangkut perbuatan. Jadi ada perbuatan yang dihalalkan, ada pula perbuatan yang diharamkan.

Adapun pengertian makanan dan minuman yang halal meliputi: halal secara zatnya, halal cara memprosesnya, dan halal cara memperolehnya.

Makanan yang halal secara zatnya jumlahnya sangat banyak, bahkan hampir semua jenis makanan adalah halal dan dapat dikonsumsi. Hanya sedikit jenis makanan yang diharamkan yang tidak boleh dikonsumsi. Hikmah pelarangan tersebut jelas Allah yang Maha Mengetahui. Adapun kebaikan dari adanya larangan tersebut jelas untuk kepentingan dan kebaikan bagi manusia itu sendiri. Di antaranya, sebagai penguji ketaatannya secara rohaniah melalui makanan dan minumannya dan agar manusia mau bersyukur.

Makanan yang diharamkan secara zatnya disebutkan di dalam ayat yang artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Maidah [5]: 173).

Pada ayat lain Allah menyatakan :

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ڪُلُواْ مِن طَيِّبَـٰتِ مَا رَزَقۡنَـٰكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِلَّهِ إِن ڪُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah”. (QS Al-Baqarah [2]: 172).

Ayat ini jenunjukkan makanan halalan thayyiban akan menjadi jaminan keberkahan hidup dan syarat utama terkabulnya permohonan hamba-Nya.

Pada ayat lain Allah berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلرُّسُلُ كُلُوا۟ مِنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَٱعْمَلُوا۟ صَٰلِحًا ۖ إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

Artinya: “Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS AL-Mu’minun [23]: 51).

Imaam Yakhsyallah Mansur menjelaskan tentang ayat ini, bahwa menunjukkan betapa eratnya hubungan makanan dengan perbuatan manusia. Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada para Rasul sebagai manusia terbaik untuk makan makanan yang baik dan melakukan perbuatan yang baik. (Nasihat untuk Orang Beriman, 2019: 551).

Perihal makanan halal dan haram ini, Sahl bin Abdillah at-Tusturi berkata, ”Barangsiapa yang makan makanan yang haram, mau atau tidak mau, anggota tubuhnya akan cenderung kepada maksiat, baik disadari atau tidak. Siapa yang memakan makanan halal, niscaya anggota tubuhnya akan berbuat taat dan diberi taufik untuk berbuat kebaikan.”

Begitulah, mengkonsumsi makanan halalan thayyiban merupakan  merupakan hak setiap konsumen Muslim. Karena itu, di negeri-negeri Barat sekalipun, kini mulai tersedia restoran-restoran yang menyediakan halal food, terutama bagi wisatawan Muslim mancanegara.

Karenanya, jaminan makanan, minuman dan produk-produk halalan thayyiban menjadi kewajiban bagi produsen dan pihak-pihak terkait yang menyediakannya untuk warganya yang beragama Islam. Itu justru menguntungan produsen itu sendiri. Karena terjadi simbiose mutualisme, saling menguntungkan kedua belah pihak, produsen dan konsumen.

Penutup

Demikianlah betapa urgensi makanan halal dan thayyib dalam perspektif syariat Islam. Sehingga melaksanakannya merupakan bagian dari pengamalan syariat Islam itu sendiri.

Oleh : Ali Farkhan Tsani,S.Pd.I., Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jannah Al-Bantani Ujung Kulon, Pandeglang, Banten.

Referensi:

  1. Al-Quran dan Terjemahnya. Depag RI.
  2. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) menjelaskan,
  3. Minanews.net
  4. Tafsirweb.com
  5. Yakhsyallah Mansur. Nasihat untuk Orang Beriman. Jakarta: MINA Publishing House, 2019.


Tags :

Bagikan ke :
Bagikan ke :