×
Pusat Kajian Produk Halal UNMA Banten memiliki aplikasi android pecarian produk yang sudah bersertifikat halal. silakkan di download Apk Android PKPH

Tidak Ada Helat Untuk Halal

 

(PKPH-PANDEGLANG)-
Oleh Agus Nurcholis Saleh
Dosen di Universitas Mathla’ul Anwar, Program Studi Hukum Keluarga Islam

اِلَّا الْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاۤءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ حِيْلَةً وَّلَا يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلًاۙ 

Populer dalam bahasa santri, HELAH. Hal itu karena seringkali para santri beralasan atas ‘ketidakmampuan’ dalam menjalankan disiplin di pesantren. Istilahnya, terlalu berat untuk dijalankan. Segala diatur. Apa-apa telah ada sanksi atas penginkaran. 

Saat hamba mengalami, sehari-hari seperti ditekan. Padahal, belum tentu juga begitu. Mohon dimaklumi pada saat itu, ke pesantren itu seperti ‘dibuang’. Entah kalau zaman sekarang. Modernisasi telah menyasar ke pikiran.

Jika menelusuri pada Alquran, hailah ternyata disebutkan oleh Allah. Silahkan dilihat dalam Q.s. al-Nisa [4] ayat 98, “kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah).”

Allah sedang memberitahukan manusia-manusia yang merasa tak berdaya. Sejatinya, tidak mungkin seorang pun hamba yang tidak punya apa-apa. Setidaknya, ia memiliki Sang Pencipta yang selalu memperhatikan dan berada di dekatnya.

Tidak berdaya itu beragam makna, disesuaikan dengan potensi yang dimiliki manusia. Apakah secara badan, secara pikiran, ataukah secara perasaan. Dalam pandangan Allah, mustahil bagi manusia tidak memiliki daya sama sekali.

Allah telah memberdayakan. Allah bertanggung jawab dengan menyediakan segala tools yang dibutuhkan. Manusia tidak perlu khawatir, kecuali alat-alat itu tidak digunakan. Atau jangan-jangan, manusia tidak tahu bahwa ia memiliki perkakas kehidupan.

Bahkan, semesta telah ditundukkan. Allah memerintahkan kepada makhluk di dunia ini untuk membantu manusia. Angin tidak boleh melawan. Air harus menerima diperebutkan. Tanah sangat rela dikotori manusia dan diperjualbelikan.

Secara pikiran, manusia tidak ada saingan. Hanya manusia yang diberi potensi akal untuk mengatasi ‘problematika’ kehidupan. Masalahnya, berapa jumlah manusia yang menggunakan akalnya untuk berpikir dan memikirkan jalan pulang.

Secara badan, sudah ratusan tahun diteliti, tapi belum diketahui apa yang dikandung secara keseluruhan. Semakin dikaji, para ahli itu semakin penasaran. Belum juga sampai pada tujuan, para peneliti itu sudah dipanggil Allah untuk pertanggungjawaban.

Secara jiwa, hanya manusia yang mampu merasa. Mereka yang digaji RATUSAN juta, hamba tidak yakin bahwa dari gaji itu telah membayar perasaannya. Mereka bisa berkata puas, tapi hati mereka belum tentu berkata seperti itu.

Kepuasan, kegembiraan, kebahagiaan, kesenangan, kesejahteraan, kemenangan, dan lain-lain bahasa yang setara, siapa yang mampu menjelaskan secara rinci? Apalagi dibalik itu masih ada pertanyaan dan tantangan untuk dituntaskan.

Pilihan manusia hanya ada dua: memberdayakan atau membiarkan dirinya dirusak zaman. Ketika merasa punya tangan, ini untuk apa ya? Kaki, punggung, dada, mata, telinga, hidung, mulut, dan semua yang ikut ketika manusia berjalan. 

Hari ini, saat terkunci oleh pandemi, Allah memberikan kesempatan kepada manusia untuk berpikir tentang dirinya. Allah tidak akan menerima alasan apapun yang dikemukakan jika suatu saat manusia harus mempertanggungjawabkan.

Kenapa kamu tidak puasa? Kenapa tidak ranking satu? Kenapa tidak berhasil menjadi yang terbaik? Kenapa tidak bisa jadi presiden direktur? Kenapa tidak pergi haji? Kenapa tidak berprestasi? Kenapa hidupnya tidak bahagia? Pantaslah selalu berharam-haram ria.

Secara kamus bahasa, hélat itu tipu muslihat, atau tipu daya, atau dalih, atau alasan. Manusia yang selalu beralasan, ia terjerembab dalam kenistaan. Level manusia seperti itu tidak pernah naik. Selalu terdegradasi.

Saya tidak puasa karena malas. Saya tidak ranking satu karena malas. Saya tidak pergi haji karena tidak punya uang, karena malas menabung, karena malas bekerja, karena waktunya dibuang-buang secara percuma. 
Allah memberikan kesempatan dan kekuatan kepada manusia. Sebaliknya, manusia memilih kelemahan dan kesempitan. Allah memberikan keberdayaan dan kemerdekaan. Manusia memilih beralasan dan keterjajahan.

Secara dunia, uang lebih diprioritaskan manusia. Katanya, tidak bisa apa-apa kalau tidak ada uang. Untuk makan harus dengan uang. Untuk minum, dengan uang. Untuk berpakaian pun dengan uang. Untuk ibadah dengan tenang, dibutuhkan perlindungan.

Mari sejenak melatih diri dengan pertanyaan, “Siapakah yang memunculkan dan mengalirkan air? Siapakah yang menghidupkan padi, sagu, gandum, ikan, tumbuh-tumbuhan, dan semua yang di semesta alam? 
Mari pikirkan untuk perlindungan badan, baik secara pakaian atau secara rumah. Siapa yang menghidupkan sumber-sumbernya? Manusia hanya perantara. Ketika diperintahkan untuk memakmurkan, manusia hanya bisa memindahkan dengan ‘merusak’. 

Setelah itu, manusia lepas tangan. Siapa manusia yang mampu mengembalikan apalagi mengganti kerusakan itu? Wallahu a’lam.


Tags :

Bagikan ke :
Bagikan ke :